Bagaimana jika Waria mau umroh?
Bagaimana jika Waria mau umroh?, Segala puji bagi Allah ,Rabb semesta alam ,Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad Sallallahi a’laihi wassallam,keluarga dan sahabatnya.
Kita sudah tahu dan jelas bagaimana hukumnya menunaikan ibadah haji. Namun bagimanakah hukum menunaikan ibadah umroh, yang didalamnya ada dua ritual ibadah utama yaitu thowaf mengelilingi ka’bah dan sa’i antara shofa dan marwah?
Dalam masalah ini ada khilaf(silang pendapat) diantara para ulama.Ulama malikiyah,kebanyakan ulama hanafiyah berpendapat bahwa umroh itu sunnah muakkad,yaitu umroh sekali seumur hidup.
Sedangkan sebagian ulama hanafiyah lainnya berpendapat bahwa umroh itu wajib sekali seumur hidup karena menurut istilah mereka sunnah muakkad itu wajib. hal ini,maka itu sudah mencukupi mereka.
Pendapat yang paling kuat dari Imam Syafi’i,juga menjadi pendapat ulama Hambali,umroh itu wajib sekali seumur hidup.Imam Ahmad sendiri berpendapat bahwa umroh tidak wajib bagi penduduk Mekkah karena rukun-rukun umrohyang paling utama adalah thowaf keliling ka’bah.Mereka penduduk Mekkah sudah sering melakukan hali ini,maka itu sudah mencukupi mereka.
Ulama Hanafiyah dan Malikiyah berdalil bahwa umroh itu hukumnya sunnah dengan dalil:
حديث جابر بن عبد اللّه رضي الله عنهما قال : « سئل رسول اللّه صلى الله عليه وسلم عن العمرة أواجبة هي ؟ قال : لا ، وأن تعتمروا هو أفضل » .
Hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai ‘umroh, wajib ataukah sunnah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak. Jika engkau berumroh maka itu afdhol.” (HR. Tirmidzi no. 931, sanad hadits ini dho’ifsebagaimana kata Syaikh Al Albani)
وبحديث طلحة بن عبيد اللّه رضي الله عنه : « الحجّ جهاد والعمرة تطوّع » .
Hadits Tholhah bin ‘Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu, “Haji itu jihad dan ‘umroh itu tathowwu’ (dianjurkan).” (HR. Ibnu Majah no. 2989, hadits ini dho’if sebagaimana kata Syaikh Al Albani)
Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hambali berpendapat bahwa ‘umroh itu wajib sekali seumur hidup dengan alasan firman Allah Ta’ala,
وَأَتِمُّواْ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّهِ
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah.” (QS. Al Baqarah: 196). Maksud ayat ini adalah sempurnakanlah kedua ibadah tersebut. Dalil ini menggunakan kata perintah, hal itu menunjukkan akan wajibnya haji dan umroh.
Juga dalil lainnya adalah,
وبحديث عائشة رضي الله تعالى عنها قالت : « قلت : يا رسول اللّه هل على النّساء جهاد ؟ قال : نعم ، عليهنّ جهاد لا قتال فيه : الحجّ والعمرة » .
Dengan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah wanita juga wajib berjihad?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya. Dia wajib berjihad tanpa ada peperangan di dalamnya, yaitu dengan haji dan ‘umroh.” (HR. Ibnu Majah no. 2901, hadits ini shahihsebagaimana kata Syaikh Al Albani). Jika wanita saja diwajibkan ‘umroh karena itu adalah jihad bagi wanita muslimah, lantas bagaimanakh dengan pria?
Pendapat yang terkuat dalam hal ini,umroh itu wajib bagi yang mampu sekali seumur hidup.Sedangkan pendapat yang menyatakan hukumnya sunnah (mu’akkad) berdalil dengan dalil yang lemah(dhaif) sehingga tidak bisa dijadikan hujjah jadi bagi yang mampu,sekali seumur hidup berusahalah tunaikan umroh.Namun perlu diketahui bahwa ibadah umroh ini bisa langsung ditunaikan dengan ibadah haji yaitu dengan cara melakukan haji secara tamattu’ atau qiran. Karena dalam haji tamattu’ dan qiran sudah ada umroh didalmnya. Wallahu a’lam

Bagaimana jika waria mau umroh?, Waria yang betul-betul waria, hukumny seperti hanya kaum wanita,”kata mantan Direktur Pembinaan Haji itu saat dihubungi melalui pesan sungkat beberapa hari yang lalu. “Sedangkan waria yang sewaktu-waktu berubah seperti wanita atau laki-laki maka hukumnya disesuaikan dengan kondisi yang bersangkutan pada saat itu,termasuk saat berhaji.ini yang disebut khuntsa Munskyil,” pungkas Ahmad Kartono Konsultan Pembimbing Ibadah Haji.
Istilah waria atau wanita pria pasti sudah nggak asing lagi di telinga. Lalu, gimana hukumnya kalau seorang waria beribadah haji? Menurut para ulama, hukum waria dalam menunaikan ibadah haji tetaplah wajib sebagaimana orang Islam lainnya apabila mampu baik secara rohani maupun jasmani. Jika jasmaninya laki-laki maka diwajibkan baginya untuk berhaji seperti laki-laki pada umumnya. Ini karena dalam Islam nggak ada hukum khusus untuk waria.
Waria yang naik haji akan dikenakan syarat yang sama seperti halnya calon jamaah haji lain. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam masalah ini ialah ada dua istilah yaitu Khuntsa dan Takhannuts yang dikenal dalam Islam. Keduanya berbeda secara mendasar walau sedikit mirip. Nah, dua hal inilah yang harus dipahami benar oleh waria sebelum melaksanakan ibadah haji.
Khuntsa ialah keadaan khusus di mana seseorang terlahir dengan kelamin ganda, alias laki-laki dan wanita sekaligus. Dalam kasus ini, Islam memiliki sikap tersendiri sejak awal terkait status jenis kelamin seseorang. Jika organ kelamin laki-lakinya lebih dominan dari segi bentuk, fungsi, ukuran dan lain sebagainya, maka ia dinyatakan sebagai laki-laki. Begitu juga kalau organ kelamin perempuan lebih dominan maka ia dihukumi sebagai seorang perempuan.
Kalau sudah jelas identitas kelaminnya, maka berlaku bagi Khuntsa hukum mengenai batasan aurat, nikah, mahram, wali, warisan dan lain-lain. Dalam masalah haji, Khuntsa yang ditetapkan haruslah mengelompokkan diri sesuai jenis kelaminnya masing-masing. Nah, masalah dengan waria beribadah haji biasanya lebih mengarah pada golongan Takhannuts. Takhannuts ialah seseorang yang berpura-pura menjadi perempuan padahal aslinya laki-laki atau laki-laki yang berlagak jadi perempuan. Instansi terkait haji maupun umroh seperti Kemenag sudah seharusnya meneliti dengan lebih seksama terkait Takhannuts ini. Mereka biasanya berlagak seperti Khuntsa walau dari segi fisik telah memiliki organ kelamin yang jelas.
Untuk menghindari munculnya masalah terkait status laki-laki atau perempuan, memang harus dipastikan dari alat kelaminnya sebagai pedoman apakah seseorang harus menggunakan pakaian ihrom perempuan atau laki-laki. Waria sendiri umumnya adalah mereka yang berasal dari golongan laki-laki akan tetapi bergaya seperti perempuan. Jadi, perlakuan pada mereka tentu harus disesuaikan dengan etika laki-laki. Karena mereka pada dasarnya adalah laki-laki, jadi pergaulan mereka dengan perempuan juga persis sebagaimana etika atau adab pergaulan laki-laki dengan wanita yang memiliki batasan tertentu.
Dalam Islam sendiri, orang yang melakukan Takhannuts terbilang melakukan dosa besar karena termasuk dalam bentuk penyimpangan dari fitrah mereka. Harapannya sih, dengan waria beribadah haji mereka bisa kembali ke fitrahnya masing-masing sebagai laki-laki.
Mengenai khuntsa musykil ini, jumhur/mayoritas ulama berpendapat bahwa mereka disamakan dengan wanita dalam hal syarat wajib haji, memakai pakaian berjahit, mendekati rumah Allah, berlari kecil ketika thawaf, menyingkapkan muka, berlari kecil ketika sa’i, wukuf, dan ia tidak boleh berhaji kecuali bersama muhrim, juga tidak boleh bersama jamaah laki-laki saja atau perempuan saja kecuali kalau mereka adalah muhrimnya. Madzhab Hanbali berpendapat bahwa khuntsa musykil kalau ber ihram tidak perlu menjauhi pakaian berjahit. Kalau ia menutupi kepalanya, tidak wajib membayar fidyah karena ada kemungkinan ia perempuan.
Begitu juga kalau ia menutupi wajahnya tanpa memakai pakaian berjahit karena ada kemungkinan ia laki-laki. Namun jika ia menutupi wajah dan kepalanya sekaligus, ia harus membayar fidyah.
Reference: 1.Rumasyow, Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah,index; Umroh,30/314 terbitan kementrian agama dan urusan Islam.Kuwait 2.Kompasiana.com 3.haji kemenag go.id
Baca juga Hukum Umroh